Rabu, 02 April 2014

Wanita dalam Sastra Cerpen "Jawa, Cina, Madura Nggak Masalah. Yang Penting Rasanya" Karya M. Shoim Anwar



Iya,, Kamu!!

Begitu banyak hal yang dapat dilakukan manusia untuk menguak problematik yang terjadi di masyarakat. Salah satunya melalui karya sastra. Karya sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi yang terjadi di masyarakat. Sastra biasa disebut sebagai potret sosial kondisi masyarakat pada masa tertentu. Sebuah karya satra dapat memberi pemahaman yang khas. Mempelajari karya sastra sama halnya dengan memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan.
Perempuan memang merupakan ciptaan tuhan yang paling indah. Selain karena memiliki bentuk tubuh yang estetis, perempuan juga memiliki jiwa yang lembut. Namun, pada kenyataannya masih sering terjadi kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. Pembicaraan perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi.
Menguak adanya perbedaan gender merupakan tema yang diangkat oleh Shoim Anwar dalam cerpenya yang berjudul “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya”. Dilihat dari segi judul menunjukkan bahwa perempuan memiliki daya tarik tersendiri sehingga dalam menwarkan “kue pastel”, pedagangnya menggunakan bahasa layaknya menawarkan seorang perempuan. Seperti pada kutipan berikut:
“Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya…,” bisikan itu mengalir lagi di telinga saya. Ternyata Ko Han sudah berada di sebelah kanan saya. Saya tersenyum sambil menoleh ke arahnya. Lelaki itu meneruskan rayuannya.
“Dijamin puas, Om. Kulitnya kuning mulus dan bersih. Montok lagi….” (Shoim Anwar, 2014:138)
Pada kumpulan cerpen tersebut, perempuan punya tempat tersendiri dalam karya sastra yang menempatkan perempuan pada nilai-nilai kultural dan mempunyai kedudukan tak hanya sebagai masyarakat kelas dua tapi juga berperan sama pentingnya dengan kaum pria. Hal tersebut terbukti pada kutipan berikut
“Mau enaknya saja,” tukasnya. “Aku tambah lebih capek”
“Mestinya itu urusanmu,” saya membalas
“Kalau ingin yang cantik kamu harus berkorban!”
“Malu,” saya membalas pelan
“Begituan malu. Kasep. Tega-teganya istri disuruh sendirian.”
“Kebanyakan mereka melakukannya sendiri.”
“Tiap hari kok melayani melulu dan selalu di bawah suami. Sesekali aku di atas biar sedikit leluasa bergerak.” (Shoim Anwar, 2014:133-134)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa perempuan juga bisa tegas dalam bersikap terlebih jika lelaki sebagai seorang suami hanya mementingkan gengsi sehingga tidak mau memenuhi kebutuhan sang istri.
Ketegasan perempuan dalam cerpen ini juga ditunjukkan dalam kutipan berikut :
“Jangan macam-macam. Kurang apa aku?”
“Nggak kurang.”
“Pakai membanding-bandingkan dengan Cina dan Madura segala.”
“Justru harus dibandingkan biar tahu kelebihannya.”
“Kurang cantik?”
“Nggak.” (Shoim Anwar, 2014:136)
Selain permasalahan gender, kutipan di atas menunjukkan adanya teori feminism multicultural dan global.
Penindasan terkait ras, etnisitas juga kolonialisme pada cerpen ini terbukti pada kutipan berikut:
“Gara-gara kerusuhan. Dulu toko orang tuanya besar sekali. Sewaktu ada huru-hara, toko orang-orang Cina di sini dirusak dan dijarah massa. Habis semua. Kacakacanya pecah berantakan,” juru parker itu menudingnuding ke tengah jalan (Shoim Anwar, 2014:137).
Kutipan di atas menunjukkan adanya penindasan terhadap etnis cina. Konflik yang menyebabkan penindasan terhadap etnis cina membuat mereka kehilangan segalanya, termasuk harga diri sebagai seorang manusia.
Pada dasarnya manusia memiliki hak yang sama dilihat dari segi apapun, termasuk gender. Perbedaan ras, etnis dan gender bukanlah alasan seseorang untuk melakukan penindasan. Itulah pesan tersirat dari cerpen ini.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda