Wanita dalam Sastra Cerpen "Jawa, Cina, Madura Nggak Masalah. Yang Penting Rasanya" Karya M. Shoim Anwar
Iya,, Kamu!!
Begitu banyak hal yang dapat
dilakukan manusia untuk menguak problematik yang terjadi di masyarakat. Salah
satunya melalui karya sastra. Karya sastra lahir dari proses kegelisahan
sastrawan atas kondisi yang terjadi di masyarakat. Sastra biasa disebut sebagai
potret sosial
kondisi masyarakat pada masa tertentu. Sebuah karya satra dapat memberi
pemahaman yang khas. Mempelajari
karya sastra sama halnya dengan memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan.
Perempuan
memang merupakan ciptaan tuhan yang paling indah. Selain karena memiliki bentuk
tubuh yang estetis, perempuan
juga memiliki jiwa yang lembut. Namun,
pada kenyataannya masih sering terjadi kekerasan dan penindasan terhadap perempuan.
Pembicaraan
perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender. Analisis
feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan
persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi.
Menguak adanya perbedaan
gender merupakan tema yang diangkat oleh Shoim Anwar dalam cerpenya yang
berjudul “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting
rasanya”. Dilihat dari segi judul menunjukkan bahwa perempuan memiliki daya tarik
tersendiri sehingga dalam menwarkan “kue pastel”, pedagangnya menggunakan
bahasa layaknya menawarkan seorang perempuan. Seperti pada kutipan berikut:
“Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya…,” bisikan itu mengalir
lagi di telinga saya. Ternyata Ko Han sudah berada di sebelah kanan saya. Saya
tersenyum sambil menoleh ke arahnya. Lelaki itu meneruskan rayuannya.
“Dijamin puas, Om. Kulitnya kuning mulus dan bersih. Montok lagi….” (Shoim
Anwar, 2014:138)
Pada kumpulan cerpen tersebut, perempuan punya
tempat tersendiri dalam karya sastra yang menempatkan perempuan pada
nilai-nilai kultural dan mempunyai
kedudukan tak hanya sebagai masyarakat kelas dua tapi juga berperan sama
pentingnya dengan kaum pria. Hal
tersebut terbukti pada kutipan berikut
“Mau enaknya saja,”
tukasnya. “Aku tambah lebih capek”
“Mestinya itu urusanmu,”
saya membalas
“Kalau ingin yang cantik
kamu harus berkorban!”
“Malu,” saya membalas pelan
“Begituan malu. Kasep.
Tega-teganya istri disuruh sendirian.”
“Kebanyakan mereka melakukannya
sendiri.”
“Tiap hari kok melayani melulu dan selalu di bawah
suami. Sesekali aku di atas biar sedikit leluasa bergerak.” (Shoim Anwar, 2014:133-134)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa perempuan juga bisa
tegas dalam bersikap terlebih jika lelaki sebagai seorang suami hanya
mementingkan gengsi sehingga tidak mau memenuhi kebutuhan sang istri.
Ketegasan perempuan dalam
cerpen ini juga ditunjukkan dalam kutipan berikut :
“Jangan macam-macam. Kurang
apa aku?”
“Nggak kurang.”
“Pakai membanding-bandingkan
dengan Cina dan Madura segala.”
“Justru harus dibandingkan
biar tahu kelebihannya.”
“Kurang cantik?”
“Nggak.” (Shoim Anwar, 2014:136)
Selain permasalahan gender, kutipan di atas menunjukkan
adanya teori feminism multicultural dan global.
Penindasan terkait
ras, etnisitas juga kolonialisme pada cerpen ini terbukti pada kutipan berikut:
“Gara-gara kerusuhan. Dulu toko orang tuanya besar sekali. Sewaktu ada
huru-hara, toko orang-orang Cina di sini dirusak dan dijarah massa. Habis semua. Kacakacanya pecah berantakan,” juru parker itu
menudingnuding ke tengah jalan (Shoim
Anwar, 2014:137).
Kutipan di atas menunjukkan adanya penindasan terhadap etnis cina. Konflik yang menyebabkan penindasan terhadap etnis cina membuat mereka
kehilangan segalanya, termasuk harga diri sebagai seorang manusia.
Pada dasarnya manusia
memiliki hak yang sama dilihat dari segi apapun, termasuk gender. Perbedaan
ras, etnis dan gender bukanlah alasan seseorang untuk melakukan penindasan.
Itulah pesan tersirat dari cerpen ini.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda