Psikoanalisis Cerpen "Ku Tunggu Di Jarwal" Karya M. Shoim Anwar
KE-LELAKIAN-KU…
Begitu banyak macam realitas kehidupan yang tertoreh dalam
bentuk karya sastra. Ketika menemukan peristiwa yang memilukan, pengalaman yang
menggelitik, kejadian nan unik atau eksentrik, dan hal-hal baru yang menggigit,
pengarang mengeksplorasi semuanya itu dalam bentuk karya sastra.
Cerpen Kutunggu di Jarwal
menceritakan tentang seorang pensiunan hakim
yang ingin menebus kesalahannya di tempat yang
suci. Hakim tersebut merasa bahwa apa yang telah diperbuatnya
selama didunia ini terlebih ketika ia
masih berprofesi menjadi seorang hakim belum cukup baginya
untuk pergi menghadap Sang Pencipta. Ia
merasa bahwa sikapnya sebagai seorang hakim selama ini tidak adil, ia hanya
menjadikan sandiwara kasus-kasus yang ditanganinya sampai akhirnya dia menangani
kasus yang sangat berat. Pembunuhan berencana terhadap tujuh orang yang
dilakukan oleh seorang pengusaha membuat ia tidak dapat bersandiwara dalam
pengadilan. Keluarga korban dan keluarga terdakwa sama-sama mengancam akan
membunuh hakim tersebut apabila tidak membelanya. Selain itu, selama ia
bertugas dia telah berkhianat pada istrinya karena ia berfoya-foya dengan
wanita lain. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke Jarwal, menunggu
ajalnya disana.
Namun, di Jarwal kehidupan hakim tersebut tidak sesuai
dengan yang ia harapkan. Disana, ia bertemu dengan seorang wanita yang berasal
dari Indonesia pula. Wanita itu bernama Ina. Ina yang merupakan seorang TKW meminta
tolong kepada hakim tersebut untuk dinikahkan agar ia tidak diperbudak oleh
juragannya yang bernama Abu Jahal. Hakim tersebut ingin sekali membantu dan
merasa kasihan pada Ina, tapi ia tidak bisa semena-mena mengambil keputusan
apalagi ia orang asing.
Ditinjau dari
teori psikoanalisis, menunjukkan bahwa ia bimbang. Antara perasaan (ego) dan angan-angan
(id) bertentangan. Hal tersebut terbukti pada kutipan berikut :
Muka Ina tampak memelas dan kecut,
lembek seperti daun pembngkus kue lemper. Dulu waktu berdinas aku tak pernah
merasa terharu terhadap orang-orang yang berperkara. Aku selalu tega selagi tak
mengancam keselamatanku. Tapi sekarang, Ina seperti bersimpuh di hadapanku
untuk minta diselamatkan. Aku memang bukan penghulu, tapi apakah tak ada cara
lain untuk menikahkannya?
“ Bapak mau menikahkan saya kan?””
“Terus calon suamimu mana?”
“Kalau begitu saya akan mengajaknya
ke mari secepatnya. Terima kasih sebelumnya, Pak. Maaf, saya pamit dulu,” ada
perubahan wajah pada Ina. Dia agak terburu-buru bangkit.
“Sebentar,”
kataku. (Shoim Anwar, 2014: 13)
Dari kutipan di
atas, menunjukkan bahwa sebenarnya ia ingin sekali membantu Ina, namun ia tidak bisa mengambil keputusan begitu saja tanpa
mempertimbangkan resikonya. Dia takut keputusan yang ia ambil akan berakibat
fatal. Dia tidak ingin apa yang telah dia lakukan selama masih berprofesi
sebagai seorang hakim terulang kembali di saat ia menunggu ajalnya.
Kebimbangan sang hakim bertambah kuat ketika Ina
memintanya agar menikahi Ina. Seperti pada kutipan berikut :
“
Kalau bapak tidak mau menikahkan saya dengan orang lain, sekarang saya minta
Bapak untuk menikahi saya.”
“Apa?”
aku tersentak
“Saya
mohon Bapak mau menikahi saya.”
“Kamu
ini bagaimana?”
“Saya
minta tolong, Bapak. Saya ingin terbebas dari siksaan Tuan Abu Jahal.”
“Itu
tidak mungkin! Kamu masih punya suami! Kamu tidak punya wali disini!”
Saya tidak menuntut macam-macam,
Bapak. Ini Cuma pernikahan di atas kertas. Saya hanya ingin menunjukkan surat
nikah ini kepada Tuan Abu Jahal biar dia tidak mengganggu saya lagi”
“Surat nikah kayak gitu tak ada yang percaya.”
“Banyak yang menggunakan surat seperti itu, Bapak. Tidak
masalah.”
“Terus penghulunya?”
“Teman saya dari Banglades tempo haqri, Bapak.”
“Tidak mungkin!”
“tolonglah saya, Bapak. Dengan menikah berarti saya bias
tinggal di luar.”
“Tinggal serumah dengan saya?”
“Terserah, Bapak.”
“Maaf,”
“Saya bias tinggal di tempat lain, Bapak.”
Aliran darahku terasa lebih kencang.
Sebuah permintaan yang aneh. Sekali lagi, aku ke sini untuk mati, bukan untuk
menikmati kehidupan duniawi. Nasib yang dialami Ina mungkin benar adanya, tapi
permintaannya untuk menikah dengan aku jelas tidak mungkin. Ina dengan si
Banglades tentu sudah bergaul akrab. Bahkan, andai aku mau menikahi dan Ina
tidak tinggal serumah dengan aku, aku yakin dia akan tidur dengan Si Banglades.
Ini sama saja dengan aku memberi kesempatan dia untuk melanggar aturan. Aku akan
diperalat oleh dia. Tidak! Tidak! Aku tidak mau menuruti scenario Ina!katakan
kebenaran itu walau pahit adanya! (Shoim Anwar, 2014: 17-18)
Dari kutipan di
atas menunjukkan bahwa id dan ego sang hakim bertentangan, dan super ego yang dihasilkan
positif. Sang hakim tidak mau menikahi Ina karena Ina memiliki suami di tanah
air. Selain itu, ia ke jarwal untuk menunggu kematiannya, bukan untuk menangani
kasus orang-orang yang bermasalah di sana.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda