Senin, 07 Juli 2014

Postkolonial Cerpen "Gembrit Foury" Karya M. Shoim Anwar


Apa Salahku??
Secara umum teori postkolonialisme sangat relevan dalam kaitannya dengan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang dikaji sangat luas dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan, diantaranya politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, kesenian etnisitas, bahasa dan sastra, sekaligus dengan bentuk praktik di lapangan, seperti perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural yang lain.
Teori postkolonialisme memiliki arti sangat penting, dimana teori ini mampu mengungkap masalah-masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan yang pernah terjadi, dengan beberapa pertimbangan, yaitu: Pertama, secara definitif, postkolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial. Postkolonialisme sangat sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia yang merdeka baru setengah abad. Jadi, masih sangat banyak masalah yang harus dipecahkan, bahkan masih sangat segar dalam ingatan bangsa Indonesia. Kedua, postkolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, sedangkan kita sendiri juga sedang diperhadapkan dengan berbagai masalah yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bertanah air. Teori postkolonialisme dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi. Ketiga, teori poskolonialisme memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan.
Keempat, membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan psikologis.
Cerpen Gembritt Foury karya M. Shoim Anwar ini menceritakan bagaimana kehidupan seorang Gembritt Foury dengan segala permasalahan hidupnya. Dalam cerpen ini nilai postkolonial sangat kental karena keluarga Gembrit adalah keluarga campuran kulit hitam dan kulit putih, sehingga kerap kali menjadi korban kekerasan dari kelompok anti kulit hitam. Terbukti pada kutipan berikut:

“…Lengkapnya Gembritt Foury. Tetapi saya lebih senang memanggilnya Gembritt. Dia adalah seorang imigran dari Mobile, Alabana. Di sana dia tinggal di daerah pemukiman campuran, tepatnya di Herndon Avenue. Ibunya seorang kulit hitam bernama Mary Gellhorn, dan ayahnya seorang kulit putih bernama Robert Duke. Banyak orang yang bersimpati pada keluarga ini. Namun banyak juga yang sinis karena nafas rasialisme masih berkembang di mana-mana.

Tiba-tiba gerakan kelompok Ku Klux Klan yang anti kulit hitam itu menggila. Ibu Gembritt suatu ketika ditemukan di belakang rumah dalam keadaan luka parah, bahkan hampir tewas. Ini tentu disiksa oleh kelompok itu. Korban kulit hitam memang terus berjatuhan secara misterius. Orang tua Gembritt akhirnya pindah ke Havana, Kuba.”

Dari kutipan di atas, terlihat perlakuan semena-mena kelompok anti kulit hitam. Bahkan mereka tidak segan-segan melukai orang-orang kulit hitam hingga banyak korban berjatuhan. Sikap orang kulit putih yang kerap memandang rendah orang kulit hitam memang kerap terjadi.
Diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam memang pernah terjadi di wilayah Afrika Selatan pada tahun 90-an, kelompok apartheid pada saat itu melakukan diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam sementara mereka yang berasal dari bangsa kulit putih diberikan hak yang lebih. 

“Malam itu telepon di kamar Gembritt terus berdering tiap tiga menit sekali. Tapi penelponnya tak juga mau bicara. Tampaknya ia cuma mau main-main, atau sengaja menteror barangkali. Kejadian itu berlangsung sekitar setengah jam.
"Aku mau keluar," kata Gembritt sambil melemparkan kunci pada saya. Sepertinya sudah tidak sabar dan ingin melesat saja. Tapi saya segera menyabet lengannya dan menarik mendekat.
"Ke mana kau?"
"Tunggu di sini!"
"Kau jangan terpancing oleh godaan, Gembritt."
"Ini bukan lagi godaan! Tapi teror!" katanya sambil mendelik.
"Apakah kau tahu siapa yang menelepon itu?"
"Dia pasti.... " kata-kata Gembritt terputus. Saat itu pula Gembritt membetot lengannya dan melesat pergi.
Telepon tak lagi berdering. Satu jam setelah itu Gembritt menelepon saya. Dia bilang akan ke rumah orang tuanya di Finca Vigia, sebuah kawasan luar kota Havana, selama seminggu. Ayah Gembritt sendiri katanya adalah mantan legiun Amerika yang sekarang mengalami cacat kaki karena diberondong oleh musuh.”

Kutipan di atas menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap orang kulit hitam tidak hanya kekerasan secara langsung atau fisik, tetapi juga kekerasan psikologis yakni melalui terror.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda