Postkolonial Cerpen "Gembrit Foury" Karya M. Shoim Anwar
Apa
Salahku??
Secara
umum teori postkolonialisme sangat relevan dalam kaitannya dengan kritik lintas
budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang dikaji sangat luas
dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan, diantaranya politik,
ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, kesenian etnisitas, bahasa
dan sastra, sekaligus dengan bentuk praktik di lapangan, seperti perbudakan,
pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan berbagai bentuk invasi
kultural yang lain.
Teori
postkolonialisme memiliki arti sangat penting, dimana teori ini mampu
mengungkap masalah-masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan yang
pernah terjadi, dengan beberapa pertimbangan, yaitu: Pertama, secara definitif,
postkolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial.
Postkolonialisme sangat sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh
bangsa Indonesia yang merdeka baru setengah abad. Jadi, masih sangat banyak
masalah yang harus dipecahkan, bahkan masih sangat segar dalam ingatan bangsa
Indonesia. Kedua, postkolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme,
sedangkan kita sendiri juga sedang diperhadapkan dengan berbagai masalah yang
berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bertanah air. Teori postkolonialisme
dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar selalu
mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan di atas
kepentingan pribadi. Ketiga, teori poskolonialisme memperjuangkan narasi kecil,
menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju
masa depan.
Keempat, membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan psikologis.
Keempat, membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan psikologis.
Cerpen
Gembritt Foury karya M. Shoim Anwar ini menceritakan bagaimana kehidupan
seorang Gembritt Foury dengan segala permasalahan hidupnya. Dalam cerpen ini
nilai postkolonial sangat kental karena keluarga Gembrit adalah keluarga
campuran kulit hitam dan kulit putih, sehingga kerap kali menjadi korban
kekerasan dari kelompok anti kulit hitam. Terbukti pada kutipan berikut:
“…Lengkapnya
Gembritt Foury. Tetapi saya lebih senang memanggilnya Gembritt. Dia adalah
seorang imigran dari Mobile, Alabana. Di sana dia tinggal di daerah pemukiman
campuran, tepatnya di Herndon Avenue. Ibunya seorang kulit hitam bernama Mary
Gellhorn, dan ayahnya seorang kulit putih bernama Robert Duke. Banyak orang
yang bersimpati pada keluarga ini. Namun banyak juga yang sinis karena nafas
rasialisme masih berkembang di mana-mana.
Tiba-tiba
gerakan kelompok Ku Klux Klan yang anti kulit hitam itu menggila. Ibu Gembritt
suatu ketika ditemukan di belakang rumah dalam keadaan luka parah, bahkan
hampir tewas. Ini tentu disiksa oleh kelompok itu. Korban kulit hitam memang
terus berjatuhan secara misterius. Orang tua Gembritt akhirnya pindah ke
Havana, Kuba.”
Dari
kutipan di atas, terlihat perlakuan semena-mena kelompok anti kulit hitam.
Bahkan mereka tidak segan-segan melukai orang-orang kulit hitam hingga banyak
korban berjatuhan. Sikap orang kulit putih yang kerap memandang rendah orang
kulit hitam memang kerap terjadi.
Diskriminasi
terhadap orang-orang kulit hitam memang pernah terjadi di wilayah Afrika
Selatan pada tahun 90-an, kelompok apartheid
pada saat itu melakukan diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam sementara
mereka yang berasal dari bangsa kulit putih diberikan hak yang lebih.
“Malam
itu telepon di kamar Gembritt terus berdering tiap tiga menit sekali. Tapi
penelponnya tak juga mau bicara. Tampaknya ia cuma mau main-main, atau sengaja
menteror barangkali. Kejadian itu berlangsung sekitar setengah jam.
"Aku
mau keluar," kata Gembritt sambil melemparkan kunci pada saya. Sepertinya
sudah tidak sabar dan ingin melesat saja. Tapi saya segera menyabet lengannya
dan menarik mendekat.
"Ke
mana kau?"
"Tunggu
di sini!"
"Kau
jangan terpancing oleh godaan, Gembritt."
"Ini
bukan lagi godaan! Tapi teror!" katanya sambil mendelik.
"Apakah
kau tahu siapa yang menelepon itu?"
"Dia
pasti.... " kata-kata Gembritt terputus. Saat itu pula Gembritt membetot
lengannya dan melesat pergi.
Telepon
tak lagi berdering. Satu jam setelah itu Gembritt menelepon saya. Dia bilang
akan ke rumah orang tuanya di Finca Vigia, sebuah kawasan luar kota Havana,
selama seminggu. Ayah Gembritt sendiri katanya adalah mantan legiun Amerika
yang sekarang mengalami cacat kaki karena diberondong oleh musuh.”
Kutipan di atas
menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap orang kulit hitam tidak hanya kekerasan
secara langsung atau fisik, tetapi juga kekerasan psikologis yakni melalui terror.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda