Rabu, 02 April 2014

Psikoanalisis Cerpen "Ku Tunggu Di Jarwal" Karya M. Shoim Anwar



KE-LELAKIAN-KU…

Begitu banyak macam realitas kehidupan yang tertoreh dalam bentuk karya sastra. Ketika menemukan peristiwa yang memilukan, pengalaman yang menggelitik, kejadian nan unik atau eksentrik, dan hal-hal baru yang menggigit, pengarang mengeksplorasi semuanya itu dalam bentuk karya sastra.
Cerpen Kutunggu di Jarwal menceritakan tentang seorang pensiunan hakim yang ingin menebus kesalahannya di tempat yang suci. Hakim tersebut merasa bahwa apa yang telah diperbuatnya selama didunia ini terlebih ketika ia masih berprofesi menjadi seorang hakim belum cukup baginya untuk pergi menghadap Sang Pencipta. Ia merasa bahwa sikapnya sebagai seorang hakim selama ini tidak adil, ia hanya menjadikan sandiwara kasus-kasus yang ditanganinya sampai akhirnya dia menangani kasus yang sangat berat. Pembunuhan berencana terhadap tujuh orang yang dilakukan oleh seorang pengusaha membuat ia tidak dapat bersandiwara dalam pengadilan. Keluarga korban dan keluarga terdakwa sama-sama mengancam akan membunuh hakim tersebut apabila tidak membelanya. Selain itu, selama ia bertugas dia telah berkhianat pada istrinya karena ia berfoya-foya dengan wanita lain. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke Jarwal, menunggu ajalnya disana.
Namun, di Jarwal kehidupan hakim tersebut tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Disana, ia bertemu dengan seorang wanita yang berasal dari Indonesia pula. Wanita itu bernama Ina. Ina yang merupakan seorang TKW meminta tolong kepada hakim tersebut untuk dinikahkan agar ia tidak diperbudak oleh juragannya yang bernama Abu Jahal. Hakim tersebut ingin sekali membantu dan merasa kasihan pada Ina, tapi ia tidak bisa semena-mena mengambil keputusan apalagi ia orang asing.
Ditinjau dari teori psikoanalisis, menunjukkan bahwa ia bimbang. Antara perasaan (ego) dan angan-angan (id) bertentangan. Hal tersebut terbukti pada kutipan berikut :
Muka Ina tampak memelas dan kecut, lembek seperti daun pembngkus kue lemper. Dulu waktu berdinas aku tak pernah merasa terharu terhadap orang-orang yang berperkara. Aku selalu tega selagi tak mengancam keselamatanku. Tapi sekarang, Ina seperti bersimpuh di hadapanku untuk minta diselamatkan. Aku memang bukan penghulu, tapi apakah tak ada cara lain untuk menikahkannya?
“ Bapak mau menikahkan saya kan?””
“Terus calon suamimu mana?”
“Kalau begitu saya akan mengajaknya ke mari secepatnya. Terima kasih sebelumnya, Pak. Maaf, saya pamit dulu,” ada perubahan wajah pada Ina. Dia agak terburu-buru bangkit.
“Sebentar,” kataku. (Shoim Anwar, 2014: 13)
Dari kutipan di atas, menunjukkan bahwa sebenarnya ia ingin sekali membantu Ina, namun ia tidak bisa mengambil keputusan begitu saja tanpa mempertimbangkan resikonya. Dia takut keputusan yang ia ambil akan berakibat fatal. Dia tidak ingin apa yang telah dia lakukan selama masih berprofesi sebagai seorang hakim terulang kembali di saat ia menunggu ajalnya.
Kebimbangan sang hakim bertambah kuat ketika Ina memintanya agar menikahi Ina. Seperti pada kutipan berikut :
“ Kalau bapak tidak mau menikahkan saya dengan orang lain, sekarang saya minta Bapak untuk menikahi saya.”
“Apa?” aku tersentak
“Saya mohon Bapak mau menikahi saya.”
“Kamu ini bagaimana?”
“Saya minta tolong, Bapak. Saya ingin terbebas dari siksaan Tuan Abu Jahal.”
“Itu tidak mungkin! Kamu masih punya suami! Kamu tidak punya wali disini!”
Saya tidak menuntut macam-macam, Bapak. Ini Cuma pernikahan di atas kertas. Saya hanya ingin menunjukkan surat nikah ini kepada Tuan Abu Jahal biar dia tidak mengganggu saya lagi”
“Surat nikah kayak gitu tak ada yang percaya.”
“Banyak yang menggunakan surat seperti itu, Bapak. Tidak masalah.”
“Terus penghulunya?”
“Teman saya dari Banglades tempo haqri, Bapak.”
“Tidak mungkin!”
“tolonglah saya, Bapak. Dengan menikah berarti saya bias tinggal di luar.”
“Tinggal serumah dengan saya?”
“Terserah, Bapak.”
“Maaf,”
“Saya bias tinggal di tempat lain, Bapak.”
Aliran darahku terasa lebih kencang. Sebuah permintaan yang aneh. Sekali lagi, aku ke sini untuk mati, bukan untuk menikmati kehidupan duniawi. Nasib yang dialami Ina mungkin benar adanya, tapi permintaannya untuk menikah dengan aku jelas tidak mungkin. Ina dengan si Banglades tentu sudah bergaul akrab. Bahkan, andai aku mau menikahi dan Ina tidak tinggal serumah dengan aku, aku yakin dia akan tidur dengan Si Banglades. Ini sama saja dengan aku memberi kesempatan dia untuk melanggar aturan. Aku akan diperalat oleh dia. Tidak! Tidak! Aku tidak mau menuruti scenario Ina!katakan kebenaran itu walau pahit adanya! (Shoim Anwar, 2014: 17-18)
Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa id dan ego sang hakim bertentangan, dan super ego yang dihasilkan positif. Sang hakim tidak mau menikahi Ina karena Ina memiliki suami di tanah air. Selain itu, ia ke jarwal untuk menunggu kematiannya, bukan untuk menangani kasus orang-orang yang bermasalah di sana.

Wanita dalam Sastra Cerpen "Jawa, Cina, Madura Nggak Masalah. Yang Penting Rasanya" Karya M. Shoim Anwar



Iya,, Kamu!!

Begitu banyak hal yang dapat dilakukan manusia untuk menguak problematik yang terjadi di masyarakat. Salah satunya melalui karya sastra. Karya sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi yang terjadi di masyarakat. Sastra biasa disebut sebagai potret sosial kondisi masyarakat pada masa tertentu. Sebuah karya satra dapat memberi pemahaman yang khas. Mempelajari karya sastra sama halnya dengan memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan.
Perempuan memang merupakan ciptaan tuhan yang paling indah. Selain karena memiliki bentuk tubuh yang estetis, perempuan juga memiliki jiwa yang lembut. Namun, pada kenyataannya masih sering terjadi kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. Pembicaraan perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender. Analisis feminis pasti akan mempermasalahkan perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak, dengan kata lain tuntutan emansipasi.
Menguak adanya perbedaan gender merupakan tema yang diangkat oleh Shoim Anwar dalam cerpenya yang berjudul “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya”. Dilihat dari segi judul menunjukkan bahwa perempuan memiliki daya tarik tersendiri sehingga dalam menwarkan “kue pastel”, pedagangnya menggunakan bahasa layaknya menawarkan seorang perempuan. Seperti pada kutipan berikut:
“Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya…,” bisikan itu mengalir lagi di telinga saya. Ternyata Ko Han sudah berada di sebelah kanan saya. Saya tersenyum sambil menoleh ke arahnya. Lelaki itu meneruskan rayuannya.
“Dijamin puas, Om. Kulitnya kuning mulus dan bersih. Montok lagi….” (Shoim Anwar, 2014:138)
Pada kumpulan cerpen tersebut, perempuan punya tempat tersendiri dalam karya sastra yang menempatkan perempuan pada nilai-nilai kultural dan mempunyai kedudukan tak hanya sebagai masyarakat kelas dua tapi juga berperan sama pentingnya dengan kaum pria. Hal tersebut terbukti pada kutipan berikut
“Mau enaknya saja,” tukasnya. “Aku tambah lebih capek”
“Mestinya itu urusanmu,” saya membalas
“Kalau ingin yang cantik kamu harus berkorban!”
“Malu,” saya membalas pelan
“Begituan malu. Kasep. Tega-teganya istri disuruh sendirian.”
“Kebanyakan mereka melakukannya sendiri.”
“Tiap hari kok melayani melulu dan selalu di bawah suami. Sesekali aku di atas biar sedikit leluasa bergerak.” (Shoim Anwar, 2014:133-134)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa perempuan juga bisa tegas dalam bersikap terlebih jika lelaki sebagai seorang suami hanya mementingkan gengsi sehingga tidak mau memenuhi kebutuhan sang istri.
Ketegasan perempuan dalam cerpen ini juga ditunjukkan dalam kutipan berikut :
“Jangan macam-macam. Kurang apa aku?”
“Nggak kurang.”
“Pakai membanding-bandingkan dengan Cina dan Madura segala.”
“Justru harus dibandingkan biar tahu kelebihannya.”
“Kurang cantik?”
“Nggak.” (Shoim Anwar, 2014:136)
Selain permasalahan gender, kutipan di atas menunjukkan adanya teori feminism multicultural dan global.
Penindasan terkait ras, etnisitas juga kolonialisme pada cerpen ini terbukti pada kutipan berikut:
“Gara-gara kerusuhan. Dulu toko orang tuanya besar sekali. Sewaktu ada huru-hara, toko orang-orang Cina di sini dirusak dan dijarah massa. Habis semua. Kacakacanya pecah berantakan,” juru parker itu menudingnuding ke tengah jalan (Shoim Anwar, 2014:137).
Kutipan di atas menunjukkan adanya penindasan terhadap etnis cina. Konflik yang menyebabkan penindasan terhadap etnis cina membuat mereka kehilangan segalanya, termasuk harga diri sebagai seorang manusia.
Pada dasarnya manusia memiliki hak yang sama dilihat dari segi apapun, termasuk gender. Perbedaan ras, etnis dan gender bukanlah alasan seseorang untuk melakukan penindasan. Itulah pesan tersirat dari cerpen ini.